Kamis, 27 Mei 2010

ORANG PAPUA SEPARATIS

ORANG PAPUA SEPARATIS ? SEBUAH TANGGAPAN
Pada tanggal 4 Mei 2007 Pak Imamedy menanggapi berita berjudul "Otsus Gagal di Papua Barat, Rakyat Terus Minta Dialog" yang dipublikasikan di website http://www.wikimu.com/ pada tanggal 3 Mei 2007. Berita yang saya publikasikan itu sumbernya dari Ketika itu, Pak Imamedy menanggapi berita tersebut secara singkat saja, "Wah, sekarang wikimu menjadi tempat propaganda separatis ya?".
Pada saat itu saya secara spontan mengucapkan terima kasih kepada Pak Imamedy atas komentarnya yang menstigmatisasi saya dan orang sebagai separatis. Lantas, pemahaman saya bahwa komentar itu muncul setelah pak Imemedy membaca berita (fakta) itu.
Selang beberapa bulan, Rizki juga menanggapi opini berjudul " TPN/OPM: Tonggak Nasionalime Kebangsaan Papua Barat" yang ditulis oleh Sdr. Longginus Pekey di pada tanggal Selasa, 12-06-2007. Tanggapan Pak Rizki adalah "... sepertinya sudah jadi alat berpolitik dan propaganda nih. kita udah masuk ke area politik nih :....saya lihat beberapa penulis Papua hampir didominasi pihak pihak yang tidak simpatik pada Jakarta (atau NKRI), sehingga selalu menyudutkan NKRI :( ...Saya tunggu berita penyeimbang dari para aktifis wikimu, agar kita tidak terjebak menjadi corong berita pihak Separatis."
Pada komentar Pak Imamedy saya berjanji untuk menulis tentang arti separatis di media kita . Sementara pada komentator pak Rizki saya justru meminta penjelasan tentang arti separatis. Waktu itu saya berharap ada penjelasan dari Pak Rizki untuk menempati janji saya kepada Pak Imamedy.
Namun hal ini tidak terjadi karena Pak Rizki belum memberikan penjelasan (mungkin belum sempat membaca). Maka saya menulis untuk saya sendiri sebagai proses pencarian atas istilah itu dan akhirnya menjadi menjadi sebuah tanggapan atas dua komentar tersebut yang isinya apa adanya. Untuk itu, tanggapan lanjutan dari para pembacaan terhormat diharapkan.
Separatis (me)?
Menurut Kamu Besar Bahasa Indonesia (2001:1042) separatis (n) adalah orang (golongan) yang menghendaki memisahkan diri dari suatu persatuan; golongan (bangsa) untuk mendapat dukungan. Sementara separatisme adalah paham atau gerakan untuk memisahkan diri.
Dalam sejarah dunia (baca: sejarah), istilah separatis (me) tidak diterima oleh orang (golongan) yang menghendaki memisahkan diri dari suatu persatuan. Mereka memilih istilah yang lebih netral yaitu determinasi diri. Istilah separatis dan determinasi diri adalah dua istilah yang benar dan sekaligus salah. Tergantung kata itu digunakan oleh kelompok mana dan untuk kepentingan siapa? Istilah seperti itu tidak bisa dilihat sebagai prolematik pada tataran individu. Manusia harus menjadi human agents, maka juga harus membingkai istilah menang-kalah, kita-mereka, gugur-tewas, terroris-pejuang, separatis/ determinasi diri -pejuang dan sejenisnya dengan tepat.
Yang terpenting bagi saya adalah kata kuncinya. Kata kuncinya adalah ada sebuah gerakan orang atau golongan tertentu untuk memisahkan diri dari suatu persatuan. Dalam konteks politik hal ini disebut gerakan orang atau golongan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan diri dengan kesadaran nasional yang tajam.
Memisahkan Diri?
Ada dua sifat orang atau golongan tertentu untuk memisahkan diri dari suatu persatuan. Yang pertama adalah orang atau golongan tertentu untuk memisahkan diri dari suatu persatuan yang sifatnya etnis. Pemisahan etnis ini merujuk kepada kelompok-kelompok yang mencoba memisahkan diri dari segi budaya dan ekonomi atau ras (maaf saya bukan rasis) meski tidak selalu menginginkan otonomi politik.
Ada beberapa contoh, misalnya
(1) kelompok keagamaan yang percaya bahwa umat mereka tidak boleh berinteraksi dengan penganut agama lainnya,
(2) kelompok berbasis ras yang ingin mengisolasikan diri dari kelompok lainnya, dan
(3) kelompok lesbian-feminis yang merujuk kepada penggunaan orientasi seksual sebagai pernyataan politik.
Yang kedua adalah orang atau golongan tertentu untuk memisahkan diri dari suatu persatuan yang sifatnya pilitis. Yang kedua ini merujuk kepada suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (baca: Wikipedia Indonesia).
Perjuangan orang atau golongan tertentu untuk memisahkan diri dari suatu persatuan, biasanya ada yang dengan cara damai dan ada yang juga dengan cara kasar dan brutal. Gerakan damai yang pernah terjadi adalah di Quebec, Kanada selama tiga puluh tahun terakhir, dan gerakan yang damai juga terjadi semasa perpecahan Cekoslowakia dan Uni Soviet. Singapura juga lepas dari Federasi Malaysia dengan damai.
Sementara, gerakan kasar menganggap bahwa kasar dan brutal adalah satu-satunya cara untuk meraih tujuan mereka mencapai kemerdekaan. Ini termasuk kelompok BasqueETA di Perancis dan Spanyol; Sikh di India pada 1980-an; IRA di Irlandia pada masa pergantian abad dan Front de Libération du Québec pada 1960-an. Kampanye gerilya seperti ini juga bisa menyebabkan perang saudara seperti yang terjadi di Chechnya (baca: ensiklopedia).
MOTIVASI MEMISAHKAN DIRI?
Motivasi orang atau golongan tertentu untuk memisahkan diri dari suatu persatuan biasanya berbasis nasionalisme atau kekuatan religius. Selain itu, juga bisa terjadi karena perasaan kurangnya kekuatan politis dan ekonomi suatu kelompok.
Daerah Basque di Spanyol, yang belum merdeka selama berabad-abad lamanya, mengembangkan "orang atau golongan tertentu untuk memisahkan diri dari suatu persatuan" sebagai reaksi terhadap aksi penindasan yang kasar oleh rezim Francisco Franco. Hal yang sama terjadi di Ethiopia, orang-orang Eritrea marah terhadap despotisme dan korupsi (baca: Wikipedia Indonesia).
ORANG PAPUA SEPARATIS?
Istilah separatis dan determinasi diri adalah dua istilah yang benar dan sekaligus salah. Tergantung kata itu digunakan oleh kelompok mana dan untuk kepentingan apa? Istilah seperti itu tidak bisa dilihat sebagai prolematik pada tataran individu. Maka dalam tulisan ini saya sebagai orang Papua ingin melihat istilah itu sebagai manusia yang harus menjadi human agents. Maka saya ingin membingkai istilah separatis/determinasi diri-pejuang dengan istilah "gerakan orang Papua untuk melepaskan diri dari ikatan (persatuan semu) dan penjajahan bangsa manapun".
Sifat pemisahan dalam konteks Papua adalah pemisahan politis. Bukan pemisahan etnis semata. Sifat pemisahan orang Papua adalah gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan diri dengan kesadaran nasional yang tajam dari penjajahan bangsa manapun. Maka, cara perjuangan yang dipilih oleh rakyat Papua yang menjadi resolusi kongres Papua adalah perjuangan damai. Orang Papua ingin memisahkan diri seperti gerakan damai yang pernah terjadi di Quebec, Kanada dan gerakan damai yang pernah terjadi semasa perpecahan Cekoslowakia dan Uni Soviet serta Singapura yang juga lepas dari Federasi Malaysia dengan damai.
Socratez Sofyan Yoman melalui bukunya berjudul "Orang Papua Bukan Sepatis, Makar dan OPM" menentang stigmatisasi orang Papua dengan istilah separatis. Dia (Yoman) membantah stigmatisasi itu dengan berbagai dasar. Antara lain dia menggunakan, dasar piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, UUD 1945, perjanjian New York 15 Agustus 1962, PEPERA 1969, serta perlawanan orang Papua.
Selain itu, Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua (POKJA) melalui bukunya "Inkonsistensi Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua Terus Bergolak" mengatakan, justru Jakartalah yang penganut separatisme. Melalui buku itu mengatakan, masalah-masalah yang timbul di tanah Papua itu karena adanya inkonsistensi -baik kebijakan maupun tindakan-yang diambil pemerintah pusat, Jakarta. "Sehingga, pertanyaan pun muncul, apa benar masyarakat Papua yang berkehendak untuk melepaskan diri, bukan karena ‘salah satunya' dipicu oleh penganut separatisme, yang justru adalah para pengambil kebijakan di Jakarta yang tidak konsisten menempati janji-janjinya?"
Soal Keinginan Rakyat Papua untuk Memisahkan Diri?
Sejauh ini yang saya tahu ada banyak buku telah terbit untuk menjawab pertanyaan tersebut. Buku-buku tersebut antara lain Raweyai (2002), Yoman (2003), Aditjondro (2000), Dumupa (2006), Pigay (2000), Karoba (2002), Taufiq (2001), Djopari (1993), Osborne (2001), Shiraishi (2002), dan lain-lain. Melalui buku-buku tersebut telah banyak menjelaskan secara panjang lebar mengapa Papua ingin memisahkan diri dari penjajahan manapun.
Dalam kaitannya dengan menjawab pertanyaan besar di atas selain buku-buku di atas secara ringkas Otis Simopiaref (2000) menjelaskan ada empat dasar orang Papua ingin memisahkan diri penjajahan manapun adalah
(1) hak,
(2) budaya,
(3) latarbelakang sejarah, dan
(4) realitas sekarang.
(1) Hak: Kemerdekaan adalah hak berdasarkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration on Human Rights) yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam mana hak penentuan nasib sendiri (the right to self-determination) ditetapkan. Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar mana mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan budaya mereka (International Covenant on Civil and Political Rights, Article). Nation is used in the meaning of People (Roethof 1951:2) and can be distinguished from the concept State - Bangsa digunakan dalam arti Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep Negara (Riop Report No.1).
Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup beberapa bangsa, maksudnya kebangsaan atau rakyat. Ada dua jenis the right to self-determination (hak penentuan nasib sendiri), yaitu external right to self-determination dan internal right to self-determination. External right to self-determination merupakan hak penentuan nasib sendiri untuk mendirikan negara baru di luar suatu negara yang telah ada. Contoh: hak penentuan nasib sendiri untuk memiliki negara Papua di luar negara Indonesia. External right to self-determination merupakan hak penentuan nasib sendiri secara external, atau sebaiknya disebut penentuan nasib sendiri bangsa-bangsa, adalah hak dari setiap bangsa untuk membentuk negara sendiri atau memutuskan apakah bergabung atau tidak dengan negara lain, sebagian atau seluruhnya (Riop Report No.1), (Roethof 1951:46).
Jadi, rakyat Papua dapat juga memutuskan untuk berintegrasi ke dalam negara tetangga Papua New Guinea. Internal right to self-determination merupakan hak penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau bangsa untuk memiliki daerah kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang telah ada. Suatu kelompok etnis atau suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan sendiri, di dalam batas negara yang ada, berdasarkan agama, bahasa dan budaya yang dimilikinya.
(2) Budaya: Rakyat Papua, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (nama pribumi untuk Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan Maluku, menurut antropologi, juga merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain. Rakyat Papua sebagai bagian dari bangsa Melanesia merujuk pada pandangan Roethof.
(3) Latar Belakang Sejarah: Indonesia dan Papua keduanya merupakan bagian dari Hindia Belanda, tapi kedua bangsa ini sungguh tidak memiliki garis paralel maupun hubungan politik sepanjang sejarah manusia.
Pertama, sebelum adanya penjajahan asing, setiap suku, yang telah mendiami Papua sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Di Biak, hingga tahun 1960-an orang masih mengenal Kankain Karkara sebagai lembaga legeslatif yang dibentuk secara demokratis. Setiap kepala kampung di Biak dipilih secara demokratis. Sekarang rakyat Papua di Biak kembali mengaktifkan Kankain Karkara. Di Numbay (nama pribumi untuk Jayapura) orang masih mengenal Ondofolo dan Ondoafi sebagai kepala suku yang ditunjuk secara turun-temurun. Dari dalam tingkat pemerintahan tradisional di Papua tidak terdapat garis politik vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika itu.
Kedua, rakyat Papua memiliki sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Misalnya, gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada awal tahun 1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri, di bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu, lahir berdasarkan kesadaran pribadi bangsa Melanesia di Biak dan sekitarnya untuk memerdekakan diri di luar penjajahan asing.
Ketiga, lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua Barat, secara politik praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1898-1962).
Keempat, batas negara Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah dari Aceh sampai Ambon, bukan dari Sabang sampai Merauke. Mohammed Hatta (almarhum), wakil presiden pertama RI, bersama kawan-kawannya justru menentang dimasukkannya Papua ke dalam Indonesia (lihat Karkara lampiran I, pokok Hindia Belanda oleh Ottis Simopiaref).
Kelima, pada Konferensi Meja Bundar (24 Agustus - 2 November 1949) di kota Den Haag (Belanda) telah dimufakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa Papua tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Status Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian.
Keenam, Papua pernah mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda. Papua telah memiliki bendera national Kejora, Hai Tanahku Papua sebagai lagu kebangsaan dan nama negara Papua Barat. Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan oleh New Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April 1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Ketujuh, Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua merupakan daerah perwalian PBB di bawah United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua merupakan daerah perselisihan internasional (international dispute region). Kedua aspek ini menggarisbawahi sejarah Papua di dunia politik internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.
Kedelapan, pernah diadakan plebisit (PEPERA) pada tahun 1969 di Papua yang hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Adanya masalah Papua di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai sejarah Papua di dunia politik internasional. Ketidaksetujuan beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah. Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri.
Kesembilan, rakyat Papua, melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian dari RI. Frans Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua pada tahun 1960-an, menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij, Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami dari PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua, Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan asing di Papua.
(4) Realitas Sekarang: Rakyat Papua menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua. Kesadaran tersebut tetap menjadi kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme Indonesia.
Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari
(1) penindasan yang brutal,
(2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat mengemukakan pendapat secara bebas dan
(3) membanjirnya informasi yang masuk tentang sejarah Papua. Rakyat Papua semakin mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas, sebagaimana almarhum Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan) menulis. Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Duka rakyat Papua yang oleh Biro Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura Papua menyebut dengan istilah memoria passionis (baca: Papua) adalah juga dasarnya. Realitas penuh dengan represi, darah, pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan hingga saat ini di Papua. Rakyat Papua menyadari dan mengenali realitas mereka sendiri. Mereka telah mencicipi betapa pahitnya realitias itu. Mereka hidup di dalam dan dengan suatu dunia yang penuh dengan ketidakadilan, namun kata-kata Martin Luther King masih disenandungkan di mana-mana bahwa we shall overcome someday!
Epilog
Seperti judulnya, tulisan ini merupakan hanya sebuah tanggapan atas komentar dua rekan wikimu, Imamedy dan Rizki terhormat. Selain sebagai proses pencarian atas istilah separatis, juga tulisan ini tidak lebih dari usaha saya sebagai manusia yang harus menjadi human agents. Saya mencoba membingkai istilah separatis -pejuang dan sejenisnya dan memang dalam hal ini saya tidak memilih kedua-keduanya.
Akhirnya saya sedikit mengerti bahwa separatisme adalah semacam sebuah gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya) kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam. Maka bagi saya orang Papua itu bukan separatis melainkan gerakan orang atau golongan dengan kesadaran nasional yang tajam untuk melepaskan diri dari ikatan (persatuan semu) dan penjajahan bangsa manapun. Dan yang terpenting bagi saya adalah kebesaran hati untuk itu.
Oleh: Yermias Degei

Tidak ada komentar: